December 12, 2010

Cerpen #1

Yah, kali ini nge-post cerpen karangan sendiri. Sebenernya sih ini dalam rangka tugas. No flame comment, please!


Mata yang Hilang

SMA Harapan Bangsa, Jakarta. Sebuah sekolah biasa dengan hari-hari yang biasa, sama seperti SMA lainnya. Bel istirahat pertama di hari itu berbunyi.
“Hhhhhh….”
Nafas berat itu berasal dari Nita, murid XI IPA 1 yang baru kembali ke kursinya setelah mengumpulkan ulangan harian biologinya. Dia merasa kurang yakin dengan ulangan kali ini. Selain karena soal yang lebih susah, dia juga kesulitan saat menulis. Sebuah penutup mata dengan model standar medis terpasang menutupi bagian mata kirinya.
Setelah duduk, dia bersandar lemas ke mejanya. Wajahnya mengarah ke kalender dinding di belakang meja guru, tepat 3 meja di depan Nita, yang menunjukkan bulan November 2010. Namun, perhatiannya tertuju pada dirinya sendiri, mencoba membuang keruwetan dari ulangan tadi.
“Hey, Nit,” sapa Vina, anak kelas XI IPA 2 dan sahabat Nita, sembari duduk di bangku di depan Vina dan meletakkan kotak kacamatanya yang berwarna hijau tua di meja pasangan bangku itu. “Lemas amat dikau.”
“Susah banget tadi biologi,” jawab Nita.
“Emang apa aja yang keluar?”
“Sistem gerak sama sistem peredaran darah.”
“Yah, gua belum bisa tuh peredaran darah. Mana nanti gua juga ulangan.”
Setelah diam sejenak, Vina bangkit.
“Gua ke kantin dulu,” kata Vina.
“Nitip es teh ya, Vin,” ujar Nita sambil menyerahkan uang Rp 2000-an pada Vina.
“Oke,” Vina mengambilnya dan meninggalkan ruang kelas.
Nita terpekur lagi, namun 10 detik kemudian, dia teringat sesuatu. “Mungkin bisa kuperbaiki sendiri,” pikir Nita. Sejurus kemudian, Nita mengeluarkan kotak kacamata dari tasnya, lalu membukanya. Di dalamnya, terdapat sebuah bola mata. Bukan bola mata asli, melainkan mata palsu. Kecelakaan mobil saat dia SMP membuatnya kehilangan mata kirinya.
Nita mengambil bola mata itu dan membukanya seperti membuka bola pingpong. Di dalamnya, terdapat rangkaian elektronik yang terlihat rumit. Mata itu adalah buatan pamannya, seorang ahli robotika, dan dimaksudkan agar berfungsi layaknya mata asli. Namun, hari ini, mata itu tidak berfungsi.
Nita mengamati rangkaian matanya dengan seksama, tidak menyadari kotak kacamata Vina, yang bentuk dan warnanya sama dengan miliknya, masih tergeletak di meja depan. Setelah 5 menit, “Kayaknya musti nunggu si Om pulang,” batin Nita. Saat ini, pamannya sedang ke luar kota dan baru bisa pulang 2 hari lagi.
Nita memasang kembali matanya dan menaruhnya kembali di dalam kotak kacamatanya. Namun, tepat saat dia menutup kotak...
GUSRAK!! BRUK! tak! plung!
Efek domino. Andri tersandung, mendorong meja di belakang Nita ke depan, Nita ikut terdorong, kotaknya terlepas, terlempar ke meja di depannya, membentur kotak kacamata Vina, dan kotak Vina meluncur ke arah depan kanan dan masuk ke dalam tas di samping bawah kursi paling depan, sementara kotak Nita tetap di meja.
“Siapa sih??!!” Nita kesal.
“Sorry, sorry,” jawab Andri.
“Nita!” sahut Vina sembari memasuki ruang kelas. “Nih es tehnya, sama kemba...”
“Buat lo aja,” potong Nita sambil mengambil es tehnya.
“Serius? Thanks ya. O iya, kacamata.”
Vina mengambil kotak kacamata di atas meja dan keluar ruangan. Nita duduk kembali di kursinya menikmati es tehnya. 2 menit kemudian, bel kembali berbunyi. Waktu istirahat pertama telah selesai. “Ah, kotak gue,” batin Nita. “Kalo gak salah...” Dia mengingat-ingat, setelah kotaknya terlepas, penglihatannya kacau, tapi samar-samar dia mendengar bunyi “tak” dan “plung”.
“Berarti...” Nita memandang meja di depannya, lalu bangku kedua di depannya, bangku paling depan. Evi dan Ika sudah duduk di sana. Ika membungkuk, mengambil buku dari tasnya, dan, “Punya siapa nih?” Ika mengeluarkan kotak kacamata.
“Punya gue,” sahut Nita sembari menghampiri Ika.
“Nih.” Ika menyerahkan kotak tersebut.
Setelah duduk kembali, Nita membuka kotaknya dan... “Lho?” Ternyata isinya kacamata biasa. “Mana mataku?” batinnya.
Dia mengingat kembali. Vina tadi mengambil kotak kacamata di atas meja, tempat di mana seharusnya kotak Nita mendarat dan meluncur ke tas Ika. “Berarti ini punya Vina,” batinnya. Sementara itu, Fauzan, ketua kelas, menuliskan sesuatu di papan tulis. Tugas mengerjakan LKS dari guru Bahasa Inggris. Berarti jam Bahasa Inggris kosong. “Kesempatan!”
Nita langsung keluar kelas, membawa kotak kacamata Vina, menuju ke XI IPA 2. Dua langkah sebelum pintu, Vina keluar, membawa kotak kacamata.
“Ah, Vina, kacamata lo.”
“Bener ‘kan dugaan gue. Nih, Nit.”
Nita dan Vina bertukar kotak. Saat Nita membukanya, “Haah?!” Nita tak percaya. Isinya masih kacamata.
“Kenapa?”
“Ini bukan punya gue.”
“Tahu dari mana?”
“Kotak gue isinya bukan kacamata.”
“Lalu apa?”
“Mata.”
“Yang serius dong.”
“Serius. Gue make ni penutup mata karena matanya gue keluarin, rusak.”
“O iya, lo pake mata palsu ya. Sebentar... O iya. Tadi gue ke toilet, terus pas cuci tangan, gue naro kotaknya di deket kotak kacamata yang cuci tangan di samping gue. Sama ama ini.”
“Lo kenal gak siapa yang bawa itu kotak?”
“Nggak, tapi kayaknya anak kelas XII.”
“Waduh, masa datengin satu-satu kelas XII nya!? ‘Kan gak ada yang kita kenal.”
Tiba-tiba...
“KYAAA!!!”
Jeritan anak perempuan memecah konsentrasi mereka dan ketenangan sekolah.
“Dari mana tuh?” tanya Nita.
“Kayaknya dari kelas XII.”
10 detik setelah jeritan, pintu kelas XII IPS 1, yang terletak cukup jauh namun masih terlihat dari tempat mereka tadi, terbuka. Seorang anak perempuan digotong keluar dalam keadaan pingsan oleh sekitar 5 orang menuju UKS. Nita dan Vina sampai di kelas itu 15 detik setelahnya dari arah berlawanan.
“Ada apa?” tanya Nita pada seorang anak laki-laki di pintu XII IPS 1.
“Gak tau,” jawabnya.
“Pantes aja pingsan,” terdengar celetuk seorang gadis dari dalam kelas. Semua orang di kelas, termasuk Nita, Vina dan anak lelaki tadi refleks melihat ke sumber suara. “Nih!” gadis tadi muncul dari balik meja di tengah kelas dan menunjukkan sebuah bola kecil berwarna putih dengan bercak merah darah. Nita mendekat ke pemegang bola tersebut.
“Ada apa?” tanya gadis itu.
“Umm.. Mata palsu saya hilang, gara-gara teman saya itu,” Nita menunjuk Vita yang masih di pintu, “lalu pas denger teriakan tadi, kami kira nyasar ke sini.”
“Nih, lain kali hati-hati ya.” Gadis itu menyerahkan yang dia pegang ke Nita.
“Sebentar...” Nita mengamati bola itu. Selain warna putih dan bercak merah, ada bulatan coklat kehitaman di satu bagian. Mata. Setelah menemukan garis belahan di bola mata itu, Nita langsung membukanya. Kosong. Ekspresi Nita langsung berubah kecewa.
“Kenapa?” tanya gadis tadi.
“Kayaknya bukan punya saya.” Nita menutup kembali bola mata yang dia pegang. Tepat setelah bola itu tertutup...
“Ada apa ini?” terdengar suara Bu Heni, guru BK, dari pintu kelas. Nita pun membalikkan badan dengan masih memegang mata itu. Bu Heni yang melihat Nita, langsung bertanya, “Itu apa?” sambil menunjuk mata di tangan Nita.
“Kayaknya ini yang bikin si Putri pingsan,” timpal seorang anak lelaki dari belakang Nita.
“Bisa ke ruang BK?” tanya Bu Heni kepada Nita. Nita mengangguk, dan keduanya bergerak keluar ruang kelas. Vina mengikuti begitu keduanya melewati pintu yang berada di kanan depan kelas. Sementara itu, anak lelaki tadi menengok ke arah seorang anak perempuan yang duduk di pojok kiri belakang, menangkap ekspresi yang nampak seperti kepuasan dari wajahnya, mengambil sesuatu dari bawah meja, lalu menyusul Nita dengan jarak sekitar 8 langkah.
Setelah melewati 2 ruangan, “Kok ikut, Jon?” tanya Bu Heni pada anak lelaki tadi yang berhasil menyusul mereka. “Saya tahu yang punya mata itu sebenarnya,” jawabnya sembari mereka terus berjalan. “Kamu yakin matamu nyasar ke sana?” tanya Jon kepada Nita.
“Pertama ketuker ama punya dia,” sambil menunjuk Vina, “lalu dari dia ketuker ama anak kelas 12.”
“Lalu anaknya yang tadi digotong keluar,” sambung Vina. Nita menoleh ke arahnya. “Baru inget pas lo masuk tadi,” sahutnya.
“Berarti beneran si Dira,” kata Jon saat mereka masuk ruang BK. “?” Tiga orang lainnya heran.
“Tadi saya lihat waktu si Putri naruh kotak kacamata di mejanya –dia ke meja lain dulu– si Dira langsung nuker kotaknya waktu yang lain gak liat. Emang troublemaker tuh cewek,” ujar Jon sambil mengacungkan kotak kacamata yang tadi ia ambil di kelas.
“Jadi..?” tanya Nita.
“Saya punya rencana,” jawab Jon.
Sementara itu, di kelas XII IPS 1 yang masih bebas karena tidak ada guru juga, Dira, yang duduk di pojok kiri belakang kelas tadi, ternyata memang puas. Setelah memastikan tidak ada yang memperhatikannya, dia mengambil kotak kacamata dari kolong mejanya, dan membukanya dari pinggir kolong.
Dira terkejut, namun tanpa suara. Sebuah bola mata, tanpa bercak darah seperti yang dibawa Vina, tersimpan di dalamnya. Selang berapa detik, Dira langsung mengembalikan kesadarannya. Dia memegang mata itu. Cukup lunak. Bila ahli forensik asli yang memegangnya, pasti dikatakan lunaknya mirip mata asli. “Pasti dia udah siaga dari tadi,” batinnya, “tapi tadi kayaknya beneran pingsannya. Lalu...?”
Dira langsung menggenggam mata itu saat melihat Jon memasuki kelas, diikuti Nita dan Vina. Genggaman Dira cukup erat untuk membuat warna mata itu tidak terlihat. Mereka lalu menghampiri Dira. Melihat tangan kanan Dira mengepal, Jon berkata, “Biar gua tebak. Lo lagi ngegenggem sesuatu, bulat, kenyal, warnanya putih, ada bulatan hitem. Bener?”
Dira diam, tanpa reaksi. “Nih!” Jon menaruh kotak kacamata di meja Dira. “Yang lo pake buat ngisengin Putri. Gua liat tadi lo nuker yang ada di meja Putri ama ini.”
Jon meneruskan perkataannya, “Bingung ama yang lo pegang sekarang? Adek ini,” mengarah ke Nita, “bilang kotak kacamatanya gak sengaja ketuker ama punya Putri.”
Dira melepaskan genggamannya. Mata itu masih berada di tangannya. Dira mengarahkan pandangannya dari Jon ke Nita. Tutup mata Nita membuat perasaan Dira mulai kurang enak. “Maaf, Kak,” ujar Nita sambil mengambil mata di tangan Dira.
Lalu, Nita membuka mata itu, menutupnya kembali, membuka tutup mata kirinya, dan memasang mata itu di relung matanya yang sempat terlihat kosong. Semua itu dilakukan di hadapan Dira, tanpa memperlihatkan rangkaian elektronik matanya.
“O iya, ini,” Jon menyerahkan kotak kacamata yang dia ambil dari kolong meja saat Dira memasang matanya. “Terima kasih ya, Kak! Maaf ngerepotin,” ujar Nita dan Vina. “Nggak apa-apa,” jawab Jon. Nita dan Vina lalu meninggalkan ruang kelas, menuju toilet siswa perempuan. Di sana Nita melepas kembali matanya, dan memasukkannya ke dalam kotak kacamatanya. Setelah itu mereka kembali ke kelas mereka.
Di kelas XII IPS 1, terlihat Dira masih diam tak bergerak, tangan kanannya masih membuka dari saat Nita mengambil matanya, dan di wajah Dira terlihat ekspresi percampuran antara kaget, ngeri, jijik, serta tak percaya. Lalu...
BLUK!
Guys,” seru Jon kepada anak-anak kelas, “tolongin lagi dong,” sambil menunjuk Dira yang tergeletak pingsan di mejanya.

****

No comments:

Post a Comment